Demam Enterik (Tifoid) adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri pada abdomen yang disebabkan oleh penyebaran Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Pada awalnya penyakit ini disebut demam tifoid karena memiliki gejala klinis yang sama dengan typhus. Namun pada awal tahun 1800-an, demam typhoid secara jelas didefinisikan sebagai kelainan patologis berupa suatu penyakit yang berbeda (unik) dikarenakan dasar penegakan penyakit yang berhubungan dengan pembesaran Plak Peyeri dan nodus limfatikus mesenterik. Pada tahun 1869, berdasarkan tempat infeksi, istilah demam enterik diajukan sebagai istilah alternatif untuk membedakan demam tifoid dari tifus. Namun pada saat ini kedua istilah tersebut sering bertukar tempat.
EpidemiologiBeberapa hal yang mempengaruhi terjadinya penyebaran demam tifoid di negara sedang berkembang adalah kepadatan penduduk, sumber air minum, produksi makanan, strain resisten antibiotik, kesulitan menentukan identifikasi dan penatalaksanaan karier, keterlambatan membuat diagnosis pasti, patogenesis dan virulensi yang belum diketahui sepenuhnya, serta belum adanya vaksin, efektif aman dan murah.
Bakteri S. typhi dapat bertahan hidup di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 630 C. Organisme ini mampu bertahan beberapa minggu di es, debu, sampah kering, dan pakaian, mampu bertahan di tempat sampah selama satu minggu dan dapat berkembang biak dalam susu, daging atau produknya tanpa merubah warna atau bentuknya.
Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita tifoid atau karier kronis. Transmisi kuman terutama dengan cara menelan makanan atau air yang tercemar tinja manusia. Transmisi secara kongenital dapat terjadi dari seorang ibu yang mengalami bakteriemia kepada bayi dalam kandungan, atau tertular pada saat dilahirkan oleh seorang ibu merupakan karier tifoid dengan rute fekal oral.
Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita tifoid atau karier kronis. Transmisi kuman terutama dengan cara menelan makanan atau air yang tercemar tinja manusia. Transmisi secara kongenital dapat terjadi dari seorang ibu yang mengalami bakteriemia kepada bayi dalam kandungan, atau tertular pada saat dilahirkan oleh seorang ibu merupakan karier tifoid dengan rute fekal oral.
Etiologi
Salmonella Typhi adalah bakteri Gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhii juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.
Patogenesis
Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh
Infeksi didapat dengan cara menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urin, sekret saluran nafas, atau dengan pus penderita yang terinfeksi. Agar dapat menimbulkan gejala klinis, diperlukan S. typhi dalam dosis 106 - 109 . Pada fase awal demam tifoid biasa ditemukan adanya gejala saluran nafas atas. Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk ke dalam peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. Pada tahap awal ini penderita juga sering mengeluh nyeri telan. Lidah tampak kotor tertutup selaput berwarna putih sampai berwarna putih sampai kecoklatan yang merupakan akibat sel epitel mati oleh bakteri S. typhi. Bila terjadi infeksi dari nasofaring melalui saluran tuba eustachi ke telingah tengah dan hal ini dapat terjadi otitis media.
Di lambung, organisme menemui suasana asam dengan pH dengan rendah dalam kuman dimusnahkan. Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan pelindung fisiologis. Setelah melalui barier asam lambung mikroorganiusme sampai ke usus halus dan menemui dua mekanisme pertahanan tubuh, yaitu motilitas dan flora normal usus. Penurunan motilitas usus karena obat-obatan atau faktor anatomis meningkatkan derajat beratnya penyakit dan timbulnya komplikasi, serta memperpanjang keadaan karier konvalesens.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa apabila kuman yang masuk sebanyak 103 atau kurang, belum dapat menimbulkan gejala pada penderita, tetapi jika jumlahnya lebih dari 105 atau lebih menimbulkan gejala pada 27% sukarelawan. Semakin tinggi jumlah kuman yang masuk, semakin besar kemungkinan seseorang terkena deman typhoid, apalagi apabila kuman tersebut termasuk jenis yang menghasilkan gen polisakarida kapsul atau Vi.
Selanjutnya kuman akan menembus dinding usus halus, masuk ke kelenjar mesentrika, lalu ke duktus thoracicus dan masuk ke dalam peredaran darah, dan menimbulkan bakteriemi I.
Kuman-kuman ini kemudian akan ditangkap oleh sel-sel RES dari limpa hati dan organ-organ lainnya. Setelah beberapa lama, kuman-kuman tersebut kembali masuk ke peredaran darah, dan menimbulkan bakteriemi II dan menyebar ke seluruh tubuh, termasuk melalui kantung empedu dan aliran empedu, masuk ke lumen usus lalu menembus hingga ke plaque peyeri.
Selanjutnya kuman akan menembus dinding usus halus, masuk ke kelenjar mesentrika, lalu ke duktus thoracicus dan masuk ke dalam peredaran darah, dan menimbulkan bakteriemi I.
Kuman-kuman ini kemudian akan ditangkap oleh sel-sel RES dari limpa hati dan organ-organ lainnya. Setelah beberapa lama, kuman-kuman tersebut kembali masuk ke peredaran darah, dan menimbulkan bakteriemi II dan menyebar ke seluruh tubuh, termasuk melalui kantung empedu dan aliran empedu, masuk ke lumen usus lalu menembus hingga ke plaque peyeri.
Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata 10 – 14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi, imunologi dan lama sakit di rumahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan denga pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat; seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan nampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga ijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh obstipasi, obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali.
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2-4 sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang tua kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Bronkhitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan menganggap sebagai bagian dari penyakit demam tifoid. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.
Penyulit (Komplikasi)
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3 %, sedangkan perdarahan usus pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, dan hilangnya keredupan hepar.
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2-4 sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang tua kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Bronkhitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan menganggap sebagai bagian dari penyakit demam tifoid. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.
Penyulit (Komplikasi)
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3 %, sedangkan perdarahan usus pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, dan hilangnya keredupan hepar.
Pada komplikasi neuropsikiatri sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtudansi, stupor bahkan koma. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerunefritis yang dapat bermani9festasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah penghentian antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya.
Gambaran Darah Tepi
Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3.000/l3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000 – 25.000/l3. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.
Diagnosa dan Deteksi Pembawa Kuman
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, maka seorang klinisi dapat dapat membuat diagnosis tersangka demam typhoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah, atau dapat pula dari feces atau urine. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prcsedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerunefritis yang dapat bermani9festasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah penghentian antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya.
Gambaran Darah Tepi
Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3.000/l3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000 – 25.000/l3. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.
Diagnosa dan Deteksi Pembawa Kuman
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, maka seorang klinisi dapat dapat membuat diagnosis tersangka demam typhoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah, atau dapat pula dari feces atau urine. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prcsedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menuniukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak pendapat apabila titer O aglutinin sekaii periksa > 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tit'oid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S.typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan faeces. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi Widal.
Diagnosis BandingPada stadium dini demam tifoid beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat merupakan diagnosis banding yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti tuberkulosis, infeksi Jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam typhoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S.typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan faeces. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi Widal.
Diagnosis BandingPada stadium dini demam tifoid beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat merupakan diagnosis banding yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti tuberkulosis, infeksi Jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam typhoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.
Tatalaksana
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan seksama.
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan seksama.
Kloramfenikol masih merupakn pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kg Berat Badan/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 sampai 14 hari sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun pada anak hal hal tersebut jarang dilaporkan.
Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 100-200 mg/kg Berat Badan/hari dibagi 4 kali pemberian secara oral atau suntikan intravena. Amoksilin dengan dosis 100 mg/kg Berat Badan/hari dibagi 4 kali pemberian memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimetophin sulfametoksazol memberikan hasil yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Seftriakson dan sefoperazon dapat memberikan angka kesembuhan 90% dan relaps 0-4%. Akhir-akhir ini cefixime oral 15-20 mg/kgBB/hari pertama 10 kali dapat diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit <2000/ atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi.
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, koma atau syok, deksametason dosis tinggi 1 – 3 mg/kg Berat Badan/hari disamping antibiotik yang memadai dapat menurunkan angka kematian. Demam tifoid edngan tifoid denga npenyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan tranfusi darah. Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakan diagnosis. Laparotomi segera harus dilakukan pada perfusi usus didertai penambahan antibiotik metronidazol dapat memperbaiki prognosis.
Tiga persen penderita demam typhoid akan menjadi karier, kejadiannya meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. Terjadinya penderita dengan karier biasanya disebabkan oloh infeksi kandung empedu yang kronis akibat batu empedu dan penderita mengeluarkan kumannya melalui kotoran ( kandung empedu dan saluran empedu sebagai sumber infeksi),
sehingga kolesistektomi dapal dipertimbangkan pada > 8 % karier, bahkan tanpa pemberian antibiotika. Pengobatan Karier tergantung ada tidaknya kelainan kandung empedu
kantung empedu normal
• Ampisilin 500 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu, atau
• Ampisilin 200 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu, intravena, atau
• Ampsilin 100 - 200 mg/kg/hari, untuk 3 - 4 minggu.
• Amoksisilin 40 mg/kg/hari, peroral (tiap 8 jam) + Probenezid 25 mg/kg dosis pertama (selanjutnya 40 mg), peroral (tiap 6 jam), selama 4 - 6 minggu.
• TMP 8 mg/kg/hari, SMZ 40 mg/kg/hari, uintuk 3 - 4 minggu.
• Norfloxazin / Ciprofloxacin.
Merupakan golongnn quinolon, telah berhasil baik pada penderita dewasa.
Karena pengaruhnya lerhadap perkeimbangan Tulang rawan, sehingga tidak dianjurkani untuk anakyang lebih muda dari 18 tahun.
Disfungsi kandung empedu
Obat dan dosis sama dengan untuk kandung empedu normal + Kolesistektomi + Amoksisilin untuk 30 hari kemudian.
Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.
Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typlii, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi seting 57°C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk rnakanan, pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal (tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60 – 70 %.
Tiga persen penderita demam typhoid akan menjadi karier, kejadiannya meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. Terjadinya penderita dengan karier biasanya disebabkan oloh infeksi kandung empedu yang kronis akibat batu empedu dan penderita mengeluarkan kumannya melalui kotoran ( kandung empedu dan saluran empedu sebagai sumber infeksi),
sehingga kolesistektomi dapal dipertimbangkan pada > 8 % karier, bahkan tanpa pemberian antibiotika. Pengobatan Karier tergantung ada tidaknya kelainan kandung empedu
kantung empedu normal
• Ampisilin 500 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu, atau
• Ampisilin 200 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu, intravena, atau
• Ampsilin 100 - 200 mg/kg/hari, untuk 3 - 4 minggu.
• Amoksisilin 40 mg/kg/hari, peroral (tiap 8 jam) + Probenezid 25 mg/kg dosis pertama (selanjutnya 40 mg), peroral (tiap 6 jam), selama 4 - 6 minggu.
• TMP 8 mg/kg/hari, SMZ 40 mg/kg/hari, uintuk 3 - 4 minggu.
• Norfloxazin / Ciprofloxacin.
Merupakan golongnn quinolon, telah berhasil baik pada penderita dewasa.
Karena pengaruhnya lerhadap perkeimbangan Tulang rawan, sehingga tidak dianjurkani untuk anakyang lebih muda dari 18 tahun.
Disfungsi kandung empedu
Obat dan dosis sama dengan untuk kandung empedu normal + Kolesistektomi + Amoksisilin untuk 30 hari kemudian.
Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.
Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typlii, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi seting 57°C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk rnakanan, pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal (tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60 – 70 %.
DAFTAR PUSTAKA
1.Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition .McGraw-Hill.2005
2.Behrman KE. Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan HI VC Typhoid fever. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-14 Philadelphia: WB Saunders Co, lS92.h.731-34.
3.Butier T Typhoid fever. Dalanu Warren KS, Mahmoud AF (penyunting). Tropical
and geographical medicine, edisi ke-2. New York: Me Graw-HiU Information
Services Co, 1990 Ji.753-7.
4.Hayani CH, Picketing LK. Salmonella infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD (penyunting). Textbook of pediatric infectious diseases, edisi ke-3, Tokyo: V/B Saunders Co, 1992.K620-33.
5.Hoffman SL. Typhoid fever. Dalatn: Strickland GT penyunting. Hunter's tropical medicine, edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Co. 1991.h.344-58.
By DEDEN SURA AGUNG