PENDAHULUAN
Epilepsi adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Kejang spontan yang timbul diduga akibat penurunan ambang kejang atau peningkatan eksitabilitas neuron sehingga rangsang yang sederhana dapat menimbulkan kejang.
Salah satu tujuan utama pengobatan epilepsi adalah mengkontrol/menghentikan kejang dan sekaligus berperan sebagai proses neuroproteksi. Dalam pengobatan epilepsi, mula-mula kita harus menentukan secara tepat tipe bangkitan, sindroma epilepsi, etiologi dan faktor presipitasi. Prinsip terapi farmakologi epilepsi adalah mulai dengan monoterapi drug of choice dari tipe kejang tersebut. Jika penderita memiliki lebih dari satu tipe kejang, pengobatan harus dimulai dengan obat pilihan untuk tipe kejang kombinasi. Bila obat pertama sudah mencapai dosis toleransi maksimal tetapi kejang belum terkontrol, maka dapat diberikan obat tambahan.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi terjadinya kejang pada epilepsi merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Dalam patofisiologi ini akan dibahas mengenai fokus epilepsi, penjalaran dari lepas muatan listrik dan mekanisme terjadinya kejang.
Fokus Epilepsi
Fokus epilepsi adalah kumpulan dari sel-sel abnormal (sel neuron epileptik ) yang memberikan lepas muatan listrik epileptik paroksismal. Sifat elektrik dari fokus epileptik adalah otonom.
Terdapat 3 jenis fokus epileptik :
1. Fokus epileptik primer, yaitu lesi epileptogenik lokal kronik.
2. Fokus epileptik sekunder, yaitu lesi epileptogenik yang dibangkitkan secara sekunder pada kumpulan sel-sel neuron yang normal. Meskipun demikian kumpulan neuron sekunder ini dapat mengeluarkan muatan listriknya sendiri secara periodik.
3. Fokus epileptik proyeksi, disini semata-mata hanya terjadi proyeksi dari fokus epileptik primer. Bila dirangsang akan menimbulkan evoked potensial yang abnormal, akan tetapi tidak mampu untuk mengeluarkan lepas muatan listriknya sendiri secara periodik
Ketiga fokus ini sebenarnya saling berkaitan. Bila proyeksi dipertahankan lama dapat menimbulkan aktivasi sekunder. Sedangkan fokus epileptik sekunder bila bertahan untuk waktu yang lebih lama, akan terbentuk seperti fokus epileptik primer.
Penjalaran dari lepas muatan listrik
Bentuk klinik dari bangkitan epilepsi yang berasal dari suatu fokus ditentukan oleh :
1. Letak fokus primer
2. Sistem anatomis dan fisiologis yang terlibat dalam penjalarannya.
Kecepatan untuk menjalarnya lepas muatan listrik sangat bervariasi, dapat merambat pada permukaan korteks serebri dengan kecepatan beberapa milimeter permenit seperti yang terjadi pada bangkitan fokal motor dari Jackson. Dapat pula menjalar melalui jaringan korteks dengan kecepatan 10 – 40 cm/detik. Pada beberapa jenis bangkitan, penjalaran sangat cepat sehingga seluruh otak termasuk kedua hemisfer serebri terlibat secara simultan disertai gerakan tonik klonik yang masif.
Terdapat dua macam penjalaran, yaitu spread yaitu penjalaran percontinuitatum dan propagation penjalaran melalui jaras aksonal. Disamping itu terdapat cara penjalaran masih belum dapat dibuktikan sepenuhnya. lepas muatan listrik dari fokus epilepsi di korteks serebri akan mengaktivasi bagian talamus, kemudian talamus akan mengaktivasi daerah korteks serebri yang lain.
Bentuk klinik dari bangkitan epilepsi tergantung dari jaras-jaras mana yang dilalui dalam penjalaran dari lepas muatan listrik.
Mekanisme Terjadinya Kejang
Meskipun epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai kelainan, bangkitan epilepsi yang terjadi selalu disebabkan oleh aktivitas listrik abnormal yang hipersinkron dari sel-sel neuron yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Potensial membran sel neuron dipengaruhi oleh keseimbangan antara EPSP (Exitatory Post Synaptic Potential) dan IPSP (Inhibitory Post Synaptic Potential). Bila EPSP dan IPSP ini tidak seimbang akan terjadi bangkitan epilepsi.
Lebih dari 100 neurotransmiter berperan dalam proses eksitasi. Exitatory Amino Acid terutama L-glutamat, mempunyai peranan utama dalam terjadinya bangkitan. Terdapat peningkatan pelepasan glutamat di otak yang berhubungan dengan aktivitas epileptik. Gamma-aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmiter inhibisi yang utama di susunan saraf pusat. Inhibisi GABAergic dapat terjadi di presinaptik (pelepasan GABA dari saraf terminal GABAergic ke dalam presinaptik saraf terminal menyebabkan penurunan pelepasan neurotransmiter) atau di postsinaptik (disebabkan oleh interaksi antara GABA dengan reseptor spesifik postsinaptik). GABA berikatan dengan 2 macam reseptor yaitu GABA A dan GABA B untuk menghasilkan inhibisi neuron. GABA dikatabolisme di postsinaptik oleh GABA-transaminase. Tidak berfungsinya GABA system ini dapat disebabkan oleh adanya defek pada pelepasan GABA di sinaps atau reseptor GABA postsinap.
Pada kondisi normal, EPSP diikuti segera oleh inhibisi GABAergic. Hipersinkronisasi sel-sel neuron terjadi bila mekanisme eksitasi lebih dominan . Jika aktivitas sel-sel neuron yang hipersinkronisasi ini berjalan terus, akan lebih banyak lagi sel-sel neuromn yang teraktivasi dan menyebabkan bangkitan epilepsi. Hipersinkronisasi yang abnormal dapat memberikan karakteristik yang abnormal pada elektroensefalogram.
Hormon-hormon seks juga berpengaruh dalam mengatur transmisi GABAergic pada susunan saraf pusat. Penelitian pada binatang dengan infusestrogen menggambarkan adanya penurunan ambang rangsang kejang sehingga terjadi bangkitan epilepsi. Progesteron mempunyai efek inhibisi, dimana progesteron ini diduga bekerja melalui aktivasi langsung pada GABA kompleks untuk meningkatkan efek GABA. Disamping itu progesteron juga dapat menghambat aktivitas glutamat. Efek dari estrogen dan progesteron ini terlihat pada epilepsi katamenial. Terdapat peningkatan frekuensi bangkitan sebelum periode menstruasi dimana progesteron menurun dan sebelum ovulasi dimana estrogen meningkat tanpa peningkatan progesteron. Pada akhir dari ovulasi, progesteron meningkat kembali dan frekuensi bangkitan menurun kembali.
Mekanisme berbagai tipe kejang tidak sepenuhnya dimengerti. Pada kenyataannya terdapat beberapa area di otak yang lebih sensitif dibandingkan yang lain, seperti sistim limbik di lobus temporal, terutama hipokampus atau pengaruh trauma sebelumnya yang menyebabkan sel-sel neuron lokal hipereksitasi, yang berperan dalambangkitan parsial. Interaksi antara nucleus talamik dan neokorteks melalui proyeksi thalamocortical dan corticotalamic berperan dalam bangkitan umum dan bangkitan umum sekunder.
Patofisiologi bangkitan parsial berbeda dengan bangkitan umum. Secara keseluruhan terjadi peningkatan eksitasi sel tetapi mekanisme sinkronisasi yang terjadi berbeda secara bermakna. Bangkitan parsial berasal dari kumpulan neuron-neuron yang terletak pada daerah spesifik di korteks serebri (fokus epilepsi) dan gejala klinis yang tampak merupakan refleksi dari fungsi area yang terlibat.
Bangkitan parsial dapat berkembang menjadi parsial umum sekunder bila aktivitas bangkitan menyebar dengan cepat ke struktur subkortikal (terutama nc. Thalamic) dan melibatkan daerah lain dari otak atau seluruh otak.
Gelombang fokal interiktal bentuk paku (spike) atau tajam (sharp) merupakan ciri neurofisiologis klinis bangkitan parsial. Paroxysmal Depolarization Shift (PDS) merupakan kortikal yang tunggal. PDS ini ditandai dengan depolarisasi Ca yang memanjang, yang menyebabkan terjadinya potensial aksi Na multipel selama fase depolarisasi.
Mekanisme yang menyebabkan penurunan inhibisi
1. Kerusakan inhibisi GABA-A
Reseptor GABA-A berpasangan dengan saluran klorida (chloride channels) dan merupakan salah satu target utama yang dimodulasi oleh antikonvulsan. Potensial pembalikan klorida adalah -70 mV. Keterlibatan saluran klorida selama membran potensial istirahat (rest potential) sangat sedikit karena pada membran potensial istirahat yang mendekati -70 mV tidak dterdapat kekuatan elektromotif yang signifikan untuk aliran klorida. Aliran klorida ini lebih penting pada saat depolarisasi. Saluran klorida ini membuat ambang batas potensial membran aksi sulit dicapai dan berpengaruh terhadap meningkatnya potensial membran. Sel-sel neuron menjadi lebih depolarisasi melalui penjumlahan dari EPSP
EPSP dimediasi oleh pelepasan asam amino glutamat eksitatori dari elemen presinaptik. Efek pelepasan glutamat pada postsinaptik dimediasi oleh 3 reseptor utama yaitu N-methyl-D-aspartic acid (NMDA), alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid (AMPA)/kainite dan metabotropic yang berpasangan melalui mekanisme yang berbeda pada beberapa saluran depolarisasi. Reseptor tadi diatur oleh IPSP yang dimediasi terutama dengan pelepasan GABA pada celah sinaps dengan aktivasi post sinaptik resptor GABA.
2. Kerusakan inhibisi GABA-B
Reseptor GABA-B berpasangan dengan saluran kalium dan mempunyai masa kerja yang lebih panjang dibandingkan arus yang ditimbulkan klorida dengan aktivasi reseptor GABA-A. Karena masa kerja yang panjang tersebut, perubahan pada reseptor GABA-B diduga berperan dalam peralihan antara interiktal yang abnormal dan bangkitan parsial. Struktur molekul dari kompleks reseptor GABA-B terdiri dari 2 subunit dengan 7 daerah transmembran.
Reseptor GABA-B berpasangan dengan saluran kalium dimediasi oleh proteinG. Pada beberapa kasus reseptor GABA-B terletak pada elemen presinaptik dari proyeksi eksitasi. Pelepasan GABA dari interneuron terminal menghambat neuron postsinaptik melalui 2 mekanisme :
a) Langsung : dengan merangsang SSP
b) Tidak Langsung : dengan menghambat pelepasan neurotransmiter
eksitasi pada presinaptik proyeksi aferen.
Perubahan pada subunit yang berbeda atau pada molekulnya dapat menyebabkan penurunan ambang kerja atau kecenderungan kejang berulang.
3. Gangguan pada aktivasi neuron-neuron GABA
Neuron-neuron GABA diaktivasi melalui proyeksi umpan ke depan (feedforward) dan umpan balik (feedback) oleh sel-sel neuron eksitasi. Aktivasi neuron-neuron GABAergic menyebabkan terjadinya IPSP yang menghambat badan sel (soma) atau axon hillock dari CA1 neuron-neuron pyramidal secara simultan dari dendrit bagian apikal ke axonhillock. Proyeksi umpan ke depan menghambat depolarisasi sel-sel pyramidal dan cetusan potensial aksi.
Inhibisi umpan balik merupakan sistem lain yang menyebabkan sel-sel GABAergic dapat mengontrol cetusan berulang pada neuron utama seperti sel-sel pyramidal dan sel sekitarnya.
4. Gangguan pada penyangga (buffer) kalsium
Kejang berulang yang ditimbulkan oleh beberapa metoda percobaan pada binatang pengerat, menggambarkan adanya pola hilangnya interneuron pada daerah hillar polymorphic dengan menurunnya jumlah ikatan Ca-Protein. Percobaan lain pada hippocampal tikus terlihat bahwa interneuron tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk memelihara hiperpolarisasi resting membran potential. Eksperimen dengan mikroelektrodamenggunakan Ca chelator BAPTA memperlihatkan adanya kelainan pada membran potensial yang menunjukkan bahwa peranan ikatan Ca-protein sangat penting.
Mekanisme yang meningkatakan eksitasi
1. Peningkatan aktivasi reseptor NMDA
Glutamat merupakan neurotransmiter eksitasi utama di otak. Pelepasan glutamat akan menyebabkan terjadinya EPSP pada postsinaptik yang diaktivasi oleh reseptor glutaminergik AMPA/kainat, NMDA dan metabotropik. Transmisi saraf yang cepat dicapai melalui reseptor NMDA dan AMPA, sedangkan reseptor metabotropik lebih lambat dengan durasi yang lebih lama. Reseptor AMPA membuka saluran untuk kation monovalen (seperti natrium dan kalium), sedangkan NMDA berpasangan dengan saluran untuk kation divalent (seperti kalsium).
Kalsium merupakan katalis untuk berbagai macam reaksi sel. Beberapa pasien epilepsi dapat mempunyai predisposisi yang diturunkan untuk aktivasi NMDA yang lebih cepat atau lama dan mempengaruhi perubahan ambang rangsang kejang.
2. Peningkatan sinkronisasi dan atau aktivasi terhadap eksitasi kolateral yang berulang
Studi neuropatologi pada pasien yang intractable menunjukkan adanya abnormalitas pada sistem limbik, khususnya formasio hipokampus. Yang paling sering adalah adanya sklerosis hipokampus yang terdiri dari gliosis dan hilangnya neuron –neuron terutama pada daerah hillar polimorfik.
Mekanisme-mekanisme di atas dapat terjadi dalam kombinasi yang berbeda dan menyebabkan bangkitan parsial.
Bangkitan Umum
Bangkitan umum primer melibatkan kedua hemisfer serebri. Ini terlihat dari gambaran iktal EEG berupa hilangnya aktivitas normal elektroensefalografik pada kedua hemisfer diganti oleh bangkitan-bangkitan epileptiform.
Beberapa penelitian memperlihatkan terdapat hubungan yang erat antara bysynchronous epileptiform discharges dan bangkitan umum. Jasper dan Kershman menghubungkan antara manifestasi bangkitan klinis dengan gambaran EEG interiktal bilaterally synchronous spike-wave discharges timbul pada 84% pasien absance dan 48% pasien bangkitan umum tonik-klonik.
Spikes-wave merupakan bysynchronous epileptiform discharges paling sering, terdiri dari satu atau lebih electronegative spikes dengan lembah yang diikuti gelombang negatif yang luas. Bacaud et al dan Goldring melaporkan penelitian dengan implantasi elektroda pada manusia, bahwa bangkitan umum motorik pada umumnya berasal dari bagian frontal korteks dan struktur subkortikal terlibat secara sekunder.
MEKANISME KERJA OBAT ANTIEPILEPSI
Obat antiepilepsi yang ada bekerja dengan cara yang berbeda dalam menghentikan bagkitan. Kebanyakan obat antiepilepsi memiliki lebih dari satu cara kerja sehingga terkadang sulit untuk menentukan yang paling penting. Bahkan pada obat yang bekerja dengan cara kerja tunggal, efeknya sangat kompleks. Berikut ini akan dibahas beberapa target dalam mekanisme kerja suatu obat antiepilepsi dan obat-obat yang memiliki mekanisme kerja tersebut. Secara umum, mekanisme kerja antiepilepsi dapat dibagi menjadi Sodium Channel Blockers, Calcium Current Inhibitors, GABA enhancer, Glutamate Blockers, dan obat yang mekanisme kerjanya tidak diketahui.
1. Sodium Channel Blockers
Saluran Natrium dapat berada dalam keadaan tertutup, terbuka, atau inaktif. Pada saat terjadi aksi potensial, saluran natrium berada dalam keadaan aktif, menyebabkan masuknya ion Na+ ke dalam sel. Bila aktivasi atau stimulus dihentikan, sebagian dari saluran natrium akan menjadi tidak aktif untuk beberapa saat, dikenal sebagai periode refrakter. Obat antiepilepsi jenis ini memiliki target pada saluran natrium (Sodium Channel Blockers) mencegah kembalinya saluran ini menjadi aktif dengan cara menstabilisasi bentuk tidak aktif dari saluran ini. Dengan begitu adanya letupan berulang dari akson dapat dicegah.
Obat antiepilepsi yang termasuk golongan Sodium Channel Blockers ini adalah : Carbamazepin, Fenitoin, Oxcarbazepine, Lamotrigine, Clonazepam, Zonisamide.
2. Calcium Current Inhibitors
Saluran kalsium merupakan salah satu target dari mekanisme kerja obat antiepilepsi, namun bagaimana mekanisme pastinya mencegah epilepsi masih belum jelas. Saluran kalsium kecil dan cepat menjadi inaktif. Influks dari kalsium pada fase istirahat akan menyebabkan terjadinya depolarisasi parsial dari membran, sehingga terjadi aksi potensial. Saluran ini berfungsi sebagai ‘pacemaker’ untuk aktivitas otak normal, yang secara khusus ditemukan di talamus. T-saluran kalsium diketahui mempunyai peranan dalam munculnya gelombang tajam 3 Hz yang ditemukan pada bangkitan lena. Obat yang memiliki target ini diketahui berguna untuk mengatasi bangkitan lena.
Obat antiepilepsi yang termasuk golongan Calcium Current Inhibitors ini adalah : Ethosuximide, Zonisamide
3. GABA enhancer
GABA merupakan neurotransmiter yang bersifat inhibisi. Untuk meningkatkan GABA dapat dengan cara memblok uptake dari GABA atau mencegah metabolisme GABA oleh GABA transaminase.
Obat antiepilepsi yang termasuk golongan GABA enhancer ini adalah : Clonazepam, Tiagabine, Phenobarbital, Vigabatrine, Gabapentine, Valproate.
4. Glutamate Blockers
Glutamat merupakan neurotransmiter yang bersifat eksitasi. Obat antiepilepsi jenis ini bekerja dengan memblok glutamat, sehingga eksitasi berkurang.
Obat antiepilepsi yang termasuk golongan Glutamate Blockers ini adalah : Felbamate, Topiramate, Lamotrigine.
KOMBINASI OBAT ANTIEPILEPSI
Dalam pengobatan epilepsi, prinsip utama adalah gunakan monoterapi. Pilihlah obat pilihan utama sesuai dengan tipe bangkitan atau sindroma epilepsi, bila serangan tidak dapat terkontrol, ganti obat dengan obat pilihan utama lain secara bertahap. Bila setelah obat diganti masih belum dapat mengontrol serangan, maka terapi kombinasi dapat dipertimbangkan, disebut sebagi politerapi.
Untuk memberikan politerapi diperlukan pengetahuan mengenai farmakodinamik, farmakokinetik, efek samping dan interaksi antar obat antiepilepsi yang akan digunakan.
Prinsip untuk pemberian politerapi pada epilepsi masih terus berkembang, anmun prinsip umum dalam pemberian politerapi secara rasional berikut ini dapat digunakan sebagai acuan, yaitu :
- Pilihlah obat yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.
- Pilihlah obat yang tidak mempunyai interaksi farmakokinetik yang kompleks.
- Pilihlah obat yang mempunyai efek samping paling minimal.
- Pilihlah obat yang paling rendah yang dapat mengontrol serangan.
wah Pak Djendral nih referratnya siapa nih? hahahaha, jadi inget waktu bikin referrat. sangat bermanfaat Pak Djendral
BalasHapuswah detail sekali Djendral, makasih sudah berbagi, salam.
BalasHapus