DEDEN SURA AGUNG Sharing

Senin, 07 Februari 2011

SALMONELLA PARATYPHI - TYPHOID (TYPUS)

Demam Enterik (Tifoid) adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri pada abdomen yang disebabkan oleh penyebaran Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Pada awalnya penyakit ini disebut demam tifoid karena memiliki gejala klinis yang sama dengan typhus. Namun pada awal tahun 1800-an, demam typhoid secara jelas didefinisikan sebagai kelainan patologis berupa suatu penyakit yang berbeda (unik) dikarenakan dasar penegakan penyakit yang berhubungan dengan pembesaran Plak Peyeri dan nodus limfatikus mesenterik. Pada tahun 1869, berdasarkan tempat infeksi, istilah demam enterik diajukan sebagai istilah alternatif untuk membedakan demam tifoid dari tifus. Namun pada saat ini kedua istilah tersebut sering bertukar tempat.
Epidemiologi

Beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya penyebaran demam tifoid di negara sedang berkembang adalah kepadatan penduduk, sumber air minum, produksi makanan, strain resisten antibiotik, kesulitan menentukan identifikasi dan penatalaksanaan karier, keterlambatan membuat diagnosis pasti, patogenesis dan virulensi yang belum diketahui sepenuhnya, serta belum adanya vaksin, efektif aman dan murah.
Bakteri S. typhi dapat bertahan hidup di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 630 C. Organisme ini mampu bertahan beberapa minggu di es, debu, sampah kering, dan pakaian, mampu bertahan di tempat sampah selama satu minggu dan dapat berkembang biak dalam susu, daging atau produknya tanpa merubah warna atau bentuknya.
Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita tifoid atau karier kronis. Transmisi kuman terutama dengan cara menelan makanan atau air yang tercemar tinja manusia. Transmisi secara kongenital dapat terjadi dari seorang ibu yang mengalami bakteriemia kepada bayi dalam kandungan, atau tertular pada saat dilahirkan oleh seorang ibu merupakan karier tifoid dengan rute fekal oral.

Etiologi
Salmonella Typhi adalah bakteri Gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhii juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.

Patogenesis
Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh
Infeksi didapat dengan cara menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urin, sekret saluran nafas, atau dengan pus penderita yang terinfeksi. Agar dapat menimbulkan gejala klinis, diperlukan S. typhi dalam dosis 106 - 109 . Pada fase awal demam tifoid biasa ditemukan adanya gejala saluran nafas atas. Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk ke dalam peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. Pada tahap awal ini penderita juga sering mengeluh nyeri telan. Lidah tampak kotor tertutup selaput berwarna putih sampai berwarna putih sampai kecoklatan yang merupakan akibat sel epitel mati oleh bakteri S. typhi. Bila terjadi infeksi dari nasofaring melalui saluran tuba eustachi ke telingah tengah dan hal ini dapat terjadi otitis media.
Di lambung, organisme menemui suasana asam dengan pH dengan rendah dalam kuman dimusnahkan. Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan pelindung fisiologis. Setelah melalui barier asam lambung mikroorganiusme sampai ke usus halus dan menemui dua mekanisme pertahanan tubuh, yaitu motilitas dan flora normal usus. Penurunan motilitas usus karena obat-obatan atau faktor anatomis meningkatkan derajat beratnya penyakit dan timbulnya komplikasi, serta memperpanjang keadaan karier konvalesens.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa apabila kuman yang masuk sebanyak 103 atau kurang, belum dapat menimbulkan gejala pada penderita, tetapi jika jumlahnya lebih dari 105 atau lebih menimbulkan gejala pada 27% sukarelawan. Semakin tinggi jumlah kuman yang masuk, semakin besar kemungkinan seseorang terkena deman typhoid, apalagi apabila kuman tersebut termasuk jenis yang menghasilkan gen polisakarida kapsul atau Vi.
Selanjutnya kuman akan menembus dinding usus halus, masuk ke kelenjar mesentrika, lalu ke duktus thoracicus dan masuk ke dalam peredaran darah, dan menimbulkan bakteriemi I.
Kuman-kuman ini kemudian akan ditangkap oleh sel-sel RES dari limpa hati dan organ-organ lainnya. Setelah beberapa lama, kuman-kuman tersebut kembali masuk ke peredaran darah, dan menimbulkan bakteriemi II dan menyebar ke seluruh tubuh, termasuk melalui kantung empedu dan aliran empedu, masuk ke lumen usus lalu menembus hingga ke  plaque peyeri.

Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata 10 – 14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini  disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi, imunologi dan lama sakit di rumahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan denga pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat; seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan nampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga ijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh obstipasi, obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali.
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2-4 sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang tua kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Bronkhitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan menganggap sebagai bagian dari penyakit demam tifoid. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.

Penyulit (Komplikasi)
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3 %, sedangkan perdarahan usus pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, dan hilangnya keredupan hepar.
Pada komplikasi neuropsikiatri sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtudansi, stupor bahkan koma. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerunefritis yang dapat bermani9festasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah penghentian antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya.

Gambaran Darah Tepi
Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3.000/l3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000 – 25.000/l3. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.

Diagnosa dan Deteksi Pembawa Kuman
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, maka seorang klinisi dapat dapat membuat diagnosis tersangka demam typhoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah, atau dapat pula dari feces atau urine. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prcsedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menuniukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak pendapat apabila titer O aglutinin sekaii periksa > 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tit'oid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S.typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan faeces. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi Widal.

Diagnosis BandingPada stadium dini demam tifoid beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat merupakan diagnosis banding yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti tuberkulosis, infeksi Jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam typhoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.

Tatalaksana
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan seksama.
Kloramfenikol masih merupakn pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kg Berat Badan/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 sampai 14 hari sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun pada anak hal hal tersebut jarang dilaporkan.
Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 100-200 mg/kg Berat Badan/hari dibagi 4 kali  pemberian secara oral atau suntikan intravena. Amoksilin dengan dosis 100 mg/kg Berat Badan/hari dibagi 4 kali pemberian memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimetophin sulfametoksazol memberikan hasil yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Seftriakson dan sefoperazon dapat memberikan angka kesembuhan 90% dan relaps 0-4%. Akhir-akhir ini cefixime oral 15-20 mg/kgBB/hari pertama 10 kali dapat diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit <2000/ atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi.
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, koma atau syok, deksametason dosis tinggi 1 – 3 mg/kg Berat Badan/hari disamping antibiotik yang memadai dapat menurunkan angka kematian. Demam tifoid edngan tifoid denga npenyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan tranfusi darah. Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakan diagnosis. Laparotomi segera harus dilakukan pada perfusi usus didertai penambahan antibiotik metronidazol dapat memperbaiki prognosis.
Tiga persen penderita demam typhoid akan menjadi karier, kejadiannya meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. Terjadinya penderita dengan karier biasanya disebabkan oloh infeksi kandung empedu yang kronis akibat batu empedu dan penderita mengeluarkan kumannya melalui kotoran ( kandung empedu dan saluran empedu  sebagai sumber infeksi),
sehingga kolesistektomi dapal dipertimbangkan pada > 8 % karier, bahkan tanpa pemberian antibiotika. Pengobatan Karier tergantung ada tidaknya kelainan kandung empedu
kantung empedu normal
•    Ampisilin 500 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu, atau
•    Ampisilin 200 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu, intravena, atau
•    Ampsilin 100 - 200 mg/kg/hari, untuk 3 - 4 minggu.
•    Amoksisilin 40 mg/kg/hari, peroral  (tiap 8 jam) + Probenezid 25 mg/kg dosis pertama (selanjutnya 40 mg), peroral (tiap 6 jam), selama 4 - 6 minggu.
•    TMP 8 mg/kg/hari, SMZ 40 mg/kg/hari, uintuk 3 - 4 minggu.
•    Norfloxazin / Ciprofloxacin.
Merupakan golongnn quinolon, telah berhasil baik pada penderita dewasa.
Karena pengaruhnya lerhadap perkeimbangan Tulang rawan, sehingga tidak dianjurkani untuk anakyang lebih muda dari 18 tahun.
Disfungsi kandung empedu
Obat dan dosis sama dengan untuk kandung empedu normal + Kolesistektomi + Amoksisilin untuk 30 hari kemudian.

Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.
Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typlii, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi seting 57°C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk rnakanan, pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal (tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A,  S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60 – 70 %.

DAFTAR PUSTAKA
1.Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition .McGraw-Hill.2005
2.Behrman KE. Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan HI VC Typhoid fever. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-14 Philadelphia: WB Saunders Co, lS92.h.731-34.
3.Butier T Typhoid fever. Dalanu Warren KS, Mahmoud AF (penyunting). Tropical
and geographical medicine, edisi ke-2. New York: Me Graw-HiU Information
Services Co, 1990 Ji.753-7.
4.Hayani CH, Picketing LK. Salmonella infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD (penyunting). Textbook of pediatric infectious diseases, edisi ke-3, Tokyo: V/B Saunders Co, 1992.K620-33.
5.Hoffman SL. Typhoid fever. Dalatn: Strickland GT penyunting. Hunter's tropical medicine, edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Co. 1991.h.344-58.

By DEDEN SURA AGUNG

Kamis, 20 Januari 2011

Penyebab, Tanda-Tanda, Cara Mencegah dan Mengobati Kanker Serviks

Sekilas Tentang Kanker Serviks
Kanker Serviks (Cervical Cancer) atau yang disebut juga sebagai kanker mulut rahim merupakan salah satu penyakit kanker yang paling banyak ditakuti kaum wanita. Berdasarkan data yang ada, dari sekian banyak penderita kanker di Indonesia, penderita Kanker Serviks mencapai sepertiga-nya. Dan dari data WHO tercatat, setiap tahun ribuan wanita meninggal karena penyakit Kanker Serviks ini dan merupakan jenis kanker yang menempati peringkat teratas sebagai penyebab kematian wanita dunia.

Kanker serviks menyerang pada bagian organ reproduksi kaum wanita, tepatnya di daerah leher rahim atau pintu masuk ke daerah rahim yaitu bagian yang sempit di bagian bawah antara kemaluan wanita dan rahim.


Yang wajib diketahui tentang Kanker Serviks:

1. Mengenal Kanker Serviks

Kanker Serviks adalah penyakit kanker yang terjadi pada daerah leher rahim. Yaitu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim. Letaknya antara rahim (uterus) dengan liang senggama wanita (vagina).

Kanker ini 99,7% disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) onkogenik, yang menyerang leher rahim. Berawal terjadi pada leher rahim, apabila telah memasuki tahap lanjut, kanker ini bisa menyebar ke organ-organ lain di seluruh tubuh penderita.


2. Peringkat Mematikan Kanker Serviks

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, saat ini penyakit Kanker Serviks menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian pada perempuan di dunia. Di Indonesia, setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000 kasus Kanker Serviks.

Sekitar 8000 kasus di antaranya berakhir dengan kematian. Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita Kanker Serviks yang tertinggi di dunia. Kanker serviks muncul seperti musuh dalam selimut. Sulit sekali dideteksi hingga penyakit telah mencapai stadium lanjut. Perlu kesadaran dini untuk pencegahan awal.


3. Penyebab Kanker Serviks

Kanker Serviks disebabkan oleh Virus HPV (Human Papilloma Virus). Virus ini memiliki lebih dari 100 tipe, di mana sebagian besar di antaranya tidak berbahaya dan akan lenyap dengan sendirinya. Jenis Virus HPV yang menyebabkan Kanker Serviks dan paling fatal akibatnya adalah Virus HPV tipe 16 dan 18.

Kedua, selain disebabkan oleh Virus HPV, sel-sel abnormal pada leher rahim juga bisa tumbuh akibat paparan radiasi atau pencemaran bahan kimia yang terjadi dalam jangka waktu cukup lama.


4. Cara Penularan Kanker Serviks

Penularan Virus HPV bisa terjadi melalui hubungan seksual, terutama yang dilakukan dengan berganti-ganti pasangan. Penularan virus ini dapat terjadi baik dengan cara transmisi melalui organ genital ke organ genital, oral ke genital, maupun secara manual ke genital.

Karenanya, penggunaan kondom saat melakukan hubungan intim tidak terlalu berpengaruh mencegah penularan Virus HPV. Sebab, tak hanya menular melalui cairan, virus ini bisa berpindah melalui sentuhan kulit.


5. Gejala Kanker Serviks

Pada tahap awal, penyakit ini tidak menimbulkan gejala yang mudah diamati. Itu sebabnya, Anda yang sudah aktif secara seksual amat dianjurkan untuk melakukan PAP SMEAR (Cervical Smear) setiap dua tahun sekali. Dan apabila hasil test negative (tidak ditemukan adanya Virus HPV) maka segeralah di berikan Vaksinasi HPV, terutama bagi yang belum pernah melakukan kontak secara seksual harus segera berikan Vaksinasi HPV.

Gejala fisik serangan penyakit ini pada umumnya hanya dirasakan oleh penderita kanker stadium lanjut. Kanker serviks membutuhkan proses yang sangat panjang yaitu antara 10 hingga 20 tahun untuk menjadi sebuah penyakit kanker yang pada mulanya dari sebuah infeksi. Oleh karena itu, saat tahap awal perkembangannya akan sulit untuk di deteksi. Oleh karena itu di sarankan para perempuan untuk melakukan test pap smear setidaknya 2 tahun sekali, melakukan test IVA (inspeksi visual dengan asam asetat, dll. Meskipun sulit untuk di deteksi, namun ciri-ciri berikut bisa menjadi petunjuk terhadap perempuan apakah dirinya mengidap gejala Kanker Serviks atau tidak:
-    Saat berhubungan intim selaku merasakan sakit, bahkan sering diikuti pleh adanya perdarahan.
-    Mengalami keputihan yang tidak normal disertai dengan perdarahan dan jumlahnya berlebih
-    Sering merasakan sakit pada daerah pinggul.
-    Mengalami sakit saat buang air kecil.
-    Pada saat menstruasi, darah yang keluar dalam jumlah banyak dan berlebih.
-   Saat perempuan mengalami stadium lanjut akan mengalami rasa sakit pada bagian paha atau salah satu paha mengalami bengkak, nafsu makan menjadi sangat berkurang, berat badan tidak stabil, susah untuk buang air kecil, mengalami perdarahan spontan.


6. Masa Pertumbuhan Kanker Serviks

Masa preinvasif (pertumbuhan sel-sel abnormal sebelum menjadi keganasan) penyakit ini terbilang cukup lama, sehingga penderita yang berhasil mendeteksinya sejak dini dapat melakukan berbagai langkah untuk mengatasinya.

Infeksi menetap akan menyebabkan pertumbuhan sel abnormal yang akhirnya dapat mengarah pada perkembangan kanker. Perkembangan ini memakan waktu antara 5-20 tahun, mulai dari tahap infeksi, lesi pra-kanker hingga positif menjadi Kanker Serviks.


7. Perokok Berisiko Terjangkit Kanker Serviks

Ada banyak penelitian yang menyatakan hubungan antara kebiasaan merokok dengan meningkatnya risiko seseorang terjangkit penyakit Kanker Serviks. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan di Karolinska Institute di Swedia dan dipublikasikan di British Journal of Cancer pada tahun 2001.

Menurut Joakam Dillner, M.D., peneliti yang memimpin riset tersebut, zat nikotin serta “racun” lain yang masuk ke dalam darah melalui asap rokok mampu meningkatkan kemungkinan terjadinya kondisi cervical neoplasia atau tumbuhnya sel-sel abnormal pada rahim. “Cervical neoplasia adalah kondisi awal berkembangnya Kanker Serviks di dalam tubuh seseorang,” ujarnya.


8. Semua Wanita Berisiko Terinfeksi

Perempuan yang rawan mengidap Kanker Serviks adalah mereka yang berusia antara 35-50 tahun, terutama Anda yang telah aktif secara seksual sebelum usia 16 tahun. Hubungan seksual pada usia terlalu dini bisa meningkatkan risiko terserang kanker leher rahim sebesar 2 kali dibandingkan perempuan yang melakukan hubungan seksual setelah usia 20 tahun.

Kanker leher rahim juga berkaitan dengan jumlah lawan seksual. Semakin banyak lawan seksual yang Anda miliki, maka kian meningkat pula risiko terjadinya kanker leher rahim. Sama seperti jumlah lawan seksual, jumlah kehamilan yang pernah dialami juga meningkatkan risiko terjadinya kanker leher rahim.

Anda yang terinfeksi virus HIV dan yang dinyatakan memiliki hasil uji PAP SMEAR abnormal, serta para penderita gizi buruk, juga berisiko terinfeksi Virus HPV. Pada Anda yang melakukan diet ketat, rendahnya konsumsi vitamin A, C, dan E setiap hari bisa menyebabkan berkurangnya tingkat kekebalan pada tubuh, sehingga Anda mudah terinfeksi.


9. Cara Mendeteksinya

Ada dua metode yang digunakan, yaitu PAP SMEAR dan BIOPSI.

PAP SMEAR (Cervical Smear) adalah metode pemeriksaan standar dengan mengambil sampel sel dari serviks untuk mendeteksi kanker leher rahim. Namun, PAP SMEAR bukanlah satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mendeteksi penyakit ini. Ada pula jenis pemeriksaan dengan menggunakan asam asetat (cuka).


Menggunakan asam asetat cuka adalah yang relatif lebih mudah dan lebih murah dilakukan. Jika menginginkan hasil yang lebih akurat, kini ada teknik pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini kanker leher rahim, yang dinamakan teknologi Hybrid Capture II System (HCII).

Mengapa PAP SMEAR perlu dilakukan? PAP SMEAR dapat mendeteksi kondisi kanker dan prakanker dalam serviks. Biopsi (pengambilan jaringan) serviks umumnya dilakukan saat PAP SMEAR bila ada indikasi kelainan signifikan, atau bila ditemukan kelainan selama pemeriksaan dalam rutin, untuk mengidentifikasi kelainan tersebut. Hasil PAP SMEAR dinyatakan positif, bila menunjukkan perubahan-perubahan sel serviks. Biopsi (pengambilan jaringan) mungkin tidak perlu dilakukan segera, kecuali anda dalam kategori risiko tinggi. Untuk perubahan sel yang minor, umumnya direkomendasikan untuk mengulang pap smear dalam 6 bulan ke depan.


10. Mencegah Kanker Serviks

Meski menempati peringkat tertinggi di antara berbagai jenis penyakit kanker yang menyebabkan kematian, Kanker Serviks merupakan satu-satunya jenis kanker yang telah diketahui penyebabnya. Karena itu, upaya pencegahannya pun sangat mungkin dilakukan. Yaitu dengan cara:
-    Tidak berhubungan intim dengan pasangan yang berganti-ganti.
-   Rajin melakukan PAP SMEAR setiap dua tahun sekali bagi yang sudah aktif secara seksual.
-  Melakukan Vaksinasi HPV terutama bagi yang belum pernah melakukan kontak secara seksual
-    Memelihara kesehatan tubuh


11. Kanker Serviks bisa disembuhkan?

Berhubung tidak mengeluhkan gejala apa pun, penderita Kanker Serviks biasanya datang ke rumah sakit ketika penyakitnya sudah mencapai stadium 3. Masalahnya, Kanker Serviks yang sudah mencapai stadium 2 sampai stadium 4 telah mengakibatkan kerusakan pada organ-organ tubuh, seperti kandung kemih, ginjal, dan lainnya.

Karenanya, operasi pengangkatan rahim saja tidak cukup membuat penderita sembuh seperti sedia kala. Selain operasi, penderita masih harus mendapatkan terapi tambahan, seperti radiasi dan kemoterapi. Langkah tersebut sekalipun tidak dapat menjamin 100% penderita mengalami kesembuhan.

Mencegah dengan Vaksinasi HPV atau memilih pengangkatan rahim, radiasi dan kemoteraphy yang masih juga belum ada jaminan sembuh, itu pilihan anda.

Baca juga:

Daftar Pustaka
  1. Canavan TP, Doshi NR. Cervical cancer. Am Fam Physician 2000;61:1369-76. Fulltext. PMID 10735343.
  2. Castellsagué X, Bosch FX, Munoz N, Meijer CJ, Shah KV, de Sanjose S, Eluf-Neto J, Ngelangel CA, Chichareon S, Smith JS, Herrero R, Moreno V, Franceschi S; International Agency for Research on Cancer Multicenter Cervical Cancer Study Group. Male circumcision, penile human Papillomavirus infection, and cervical cancer in female partners. N Engl J Med 2002;346:1105-12. Fulltext. PMID 11948269.
  3. Heins HC, Dennis EJ, Pratt-Thomas HR. The possible role of smegma in carcinoma of the cervix. Am J Obstet Gynec 1958:76;726-735. PMID 13583012.
  4. Harper DM, Franco EL, Wheeler C, Ferris DG, Jenkins D, Schuind A, Zahaf T, Innis B, Naud P, De Carvalho NS, Roteli-Martins CM, Teixeira J, Blatter MM, Korn AP, Quint W, Dubin G; GlaxoSmithKline HPV Vaccine Study Group. Efficacy of a bivalent L1 virus-like particle vaccine in prevention of infection with human papillomavirus types 16 and 18 in young women: a randomised controlled trial. Lancet 2004;364(9447):1757-65. PMID 15541448.
  5. Menczer J. The low incidence of cervical cancer in Jewish women: has the puzzle finally been solved? Isr Med Assoc J 2003;5:120-3. PDF. PMID 12674663.
  6. Lehtinen M, Dillner J. Preventive human papillomavirus vaccination. Sex Transm Infect 2002;78:4-6. Fulltext. PMID 11872848.
  7. Peto J, Gilham C, Fletcher O, Matthews FE. The cervical cancer epidemic that screening has prevented in the UK. Lancet 2004;364:249-56. PMID 15262102.
  8. Snijders PJ, Steenbergen RD, Heideman DA, Meijer CJ. HPV-mediated cervical carcinogenesis: concepts and clinical implications J Pathol. 2006;208:152-64. PMID 16362994.
  9. Walboomers JM, Jacobs MV, Manos MM, Bosch FX, Kummer JA, Shah KV, Snijders PJ, Peto J, Meijer CJ, Munoz N. Human papillomavirus is a necessary cause of invasive cervical cancer worldwide. J Pathol 1999;189:12-9. PMID 10451482.
  10. International Angency for Research on Cancer, Lyons, France [1] The 7 most common types of HPV virus.

DEMAM REMATIK

I.    PENDAHULUAN By DEDEN SURA AGUNG

Demam Rematik adalah penyakit inflamasi yang terjadi sebagai komplikasi non supuratif akibat respons imun terhadap infeksi Streptokokus grup A. Inflamasi yang terjadi mengenai jaringan ikat terutama pada jantung, sendi, sistem saraf pusat dan jaringan subkutan. Hal ini ditunjukkan dari berbagai penelitian klinis, epidemiologis dan pencegahan  bahwa infeksi faring oleh Streptokokus grup A yang tidak mendapatkan terapi secara adekuat merupakan penyebab demam rematik. Diperkirakan 2-3% faringitis yang disebabkan Streptokokus grup A akan menjadi Demam Rematik. Demam Rematik tidak pernah terjadi akibat infeksi Streptokokus grup A selain di faring. Sampai sekarang Demam Rematik (DR) masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama pada anak dan dewasa muda di negara berkembang. Pada tahun 1994, WHO memperkirakan sekitar 12 juta penduduk dunia menderita Demam Rematik dan penyakit jantung rematik. Diperkirakan tiga juta orang diantaranya mengalami gagal jantung dan memerlukan perawatan berulang di rumah sakit.
Insidens DR pada anak sekolah bervariasi mulai 1/100.000 di Costa Rica sampai 150/100.000 di Cina. Angka kematian akibat PJR bervariasi mulai 0,5/100.000 di Denmark sampai 8,2/100.000 penduduk di Cina. Angka kematian untuk wilayah WHO asia tenggara diperkirakan 7,6/100.000 penduduk. Tingginya angka kejadian di negara berkembang berhubungan dengan rendahnya sosial ekonomi, kepadatan penduduk, serta kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai.

II.    ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi Demam Rematik akut sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui patogenesis Demam Rematik akut. Streptokokus grup A paling sering ditemukan sebagai penyebab faringitis yang disebabkan oleh bakteri. Secara epidemiologis kelompok umur yang paling sering mengalami faringitis akibat infeksi Streptokokus grup A adalah usia sekolah (5-15 tahun) dan penduduk dengan sosial ekonomi rendah, lingkungan yang padat serta kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai.

Infeksi Streptokokus grup A diawali dengan adanya adhesi antara produk dari bakteri (adhesins) dengan sel-sel epitel faring. Sebagian besar (60%) adhesin adalah asam lipoteikoat yang juga merupakan bagian dari struktur dinding sel bakteri, sedangkan sisanya terdiri dari protein M, protein F, 29-kDa dan 54-kDa fibronectin binding protein, 70-kDa galactose binding protein dan sebagainya.

Selain mengadakan adhesi, Streptokokus grup A juga mempunyai kemampuan untuk mengadakan invasi terhadap sel-sel epitel tersebut dengan cara memproduksi invasins seperti protein M dan/atau fibronectin binding protein. Berbagai hipotesis diungkapkan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya invasi tersebut. Protein M (terutama serotipe M1) akan berikatan dengan laminin yang akan menginduksi proses invasi. Pada saat berlangsungnya proses ini akan terjadi kerusakan pada sitoskeletal epitel sehingga proses invasi menjadi lebih mudah.

Streptokokus grup A mempunyai kemampuan bertahan terhadap fagositosis melalui dua mekanisme. Pertama, adanya ikatan oleh faktor H yang menghambat aktivasi jalur komplemen. Faktor H adalah komponen yang mengatur jalur komplemen dengan menghambat deposisi C3b. Faktor H ini berikatan dengan C repeat region yang terdapat pada protein M. Kedua, adanya ikatan fibrinogen pada permukaan protein M akan menghambat aktivasi komplemen melalui jalur alternatif sehingga mengurangi C3b yang berikatan dengan bakteri. Hal ini mengakibatkan berkurangnya proses fagositosis oleh leukosit polimorfonuklir.

Antigen-antigen Streptokokus grup A mempunyai struktur dan sifat yang mirip dengan jaringan pejamu. Hal ini akan menginduksi terjadinya reaksi silang antara antigen dengan jaringan tubuh pejamu dengan cara berbagi epitop antara antigen, sehingga sebagai akibatnya terbentuk antibodi yang akan merusak jaringan tubuh pejamu itu sendiri. Berbagai substansi Streptokokus grup A diketahui menyebabkan reaksi  silang dengan jaringan tubuh pejamu, yaitu protein M, polisakarida, asam hyaluronat dan membran protoplast. Protein M merupakan antigen utama Streptokokus grup A yang mempunyai struktur mirip dengan miosin jantung dan molekul alpha helical-coiled lainnya seperti tropomiosin, keratin dan laminin. rotein M ini menginduksi terbentuknya antibodi terhadap miosin yang disebut dengan MAB (Human Anti Myosin - Anti Streptococcal). MAB yang terdeposit di matriks ekstraselular miokardium akan menyebabkan  kerusakan miokardium sehingga terjadi miokarditis. Selain melalui mekanisme imunitas humoral, protein M bersama-sama dengan superantigen dari SGA akan menyebabkan ekspresi major histocompatibility complex kelas II pada sel T sitotoksik. Akibatnya sel T sitotoksik akan menyebabkan kerusakan pada miosin sehingga terjadi miokarditis.

Polisakarida pada SGA mempunyai kemiripan dengan glikoprotein pada katup jantung. Penelitian Goldstein dkk, menunjukkan bahwa polisakarida SGA dan glikoprotein katup jantung sama-sama mengandung N-asetil glukosamin. Kemiripan struktur ini menyebabkan terjadinya reaksi silang antara SGA dengan jaringan katup jantung sehingga menginduksi antibodi yang akan merusak katup jantung. Penelitian lain menunjukkan bahwa kerusakan katup jantung juga disebabkan oleh adanya reaksi silang antara membran sel SGA dengan fibroblas pada katup jantung.

Asam hyaluronat yang merupakan lapisan terluar dari SGA mempunyai struktur yang mirip dengan jaringan sendi sehingga menimbulkan reaksi silang. Hal ini mengakibatkan diproduksinya antibodi yang  merusak jaringan sendi tersebut sehingga terjadi artritis.
Membran protoplas Streptokus grup A akan mengadakan reaksi silang dengan jaringan saraf di subtalamus dan nukleus kaudatus sehingga mengakibatkan gangguan pada jaringan tersebut dengan manifestasi klinis berupa chorea Sydenham.

III.    MANIFESTASI KLINIS

Demam Rematik merupakan penyakit yang melibatkan berbagai organ meliputi jantung, sendi, otak serta kulit dan jaringan subkutan. Manifestasi klinis Demam Rematik bervariasi tergantung organ yang terlibat dan berat ringannya penyakit. Manifestasi klinis Demam Rematik dibagi menjadi kriteria mayor dan kriteria minor. Kriteria mayor meliputi karditis, artritis, chorea Sydenham, eritema marginatum dan nodul subkutan, sedangkan kriteria minor meliputi demam, artralgia dan peningkatan jumlah leukosit, laju endap darah atau C-reactive protein.

IV.    DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik Demam Rematik dikemukakan pertama kali pada tahun 1944 oleh T. Duckett Jones dengan membagi manifestasi klinis menjadi kriteria mayor dan kriteria minor. Kriteria mayor yang pertama kali dikemukakan oleh Jones meliputi karditis, artralgia, chorea, nodul subkutan dan riwayat Demam Rematik atau penyakit jantung rematik sebelumnya, sedangkan kriteria minor meliputi eritema marginatum, demam, peningkatan jumlah leukosit, laju endap darah atau C reactive protein serta adanya epistaksis, nyeri perut dan anemia.
Untuk meningkatkan spesifisitas, American Heart Association (AHA) pada tahun 1956 melakukan modifikasi dengan mengubah kriteria mayor menjadi terdiri dari karditis, artritis, chorea, nodul subkutan dan eritema marginatum, sedangkan kriteria minor terdiri dari riwayat Demam Rematik atau penyakit jantung rematik sebelumnya, artralgia, demam, peningkatan jumlah leukosit, laju endap darah atau C reactive protein, pemanjangan interval PR, disertai bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya. Bukti infeksi streptokokus Grup A dalam 45 hari terakhir ditentukan dengan adanya peningkatan titer antistreptolysin O/antibodi terhadap Streptokokus lainnya, atau kultur positif dari apus tenggorok, atau tes antigen cepat untuk Streptokokus grup A, atau riwayat demam skarlatina sebelumnya.
Pada tahun 1965, AHA merevisi kriteria diagnostik dengan mengubah bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya, dari kriteria minor menjadi esensial. Perubahan ini meningkatkan spesifisitas tetapi menurunkan sensitivitas dimana sekitar 25% kasus demam rematik yang didiagnosis dengan kriteria modifikasi AHA tahun 1956, tidak dapat didiagnosis dengan kriteria Jones.
Kesulitan untuk mengetahui adanya riwayat Demam Rematik atau penyakit jantung rematik sebelumnya menyebabkan AHA memperbaharui kriteria Jones  pada tahun 1992 dengan menghilangkan kriteria riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik sebelumnya.
Pada tahun 2003, WHO merekomendasikan untuk melanjutkan penggunaan kriteria Jones yang diperbaharui (tahun 1992) untuk Demam Rematik serangan pertama dan serangan rekuren Demam Rematik pada pasien yang diketahui tidak mengalami penyakit jantung rematik. Untuk serangan rekuren demam rematik pada pasien yang sudah mengalami penyakit jantung rematik, WHO merekomendasikan untuk menggunakan minimal dua kriteria minor dengan disertai bukti infeksi Streptokokus Grup A sebelumnya. Sedangkan kriteria diagnostik penyakit jantung rematik ditujukan untuk pasien yang datang pertama kali dengan mitral stenosis murni atau penyakit katup mitral campuran dan/atau penyakit katup aorta.

V.    PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Demam Rematik dimulai dari pencegahan primer Demam Rematik yaitu eradikasi Streptokokus grup A yang menyebabkan faringitis. Pemberian antibiotik untuk eradikasi SGA pada faringitis harus segera diberikan setelah diagnosis ditegakkan atau paling lambat dalam 9 hari setelah onset gejala. Antibiotik pilihan pertama yang digunakan adalah penisilin karena relatif murah, tersedia hampir semua negara dan sampai sekarang belum ada satupun isolat SGA yang dilaporkan resisten terhadap penisilin. Penisilin yang sering digunakan adalah benzatin benzilpenisilin dosis tunggal 600.000 IU untuk anak dengan berat badan < 27 kg dan 1.200.000 IU untuk > 27 kg.

SEMOGA BERMANFAAT
NB: untuk membantu menghasilkan ide-ide baru, silahkan klik link-link dibawah ini yang anda sukai dan juga berikan komentar anda serta tombol like nya di click.

By DEDEN SURA AGUNG

KEMBALI KE HALAMAN UTAMA

Rabu, 19 Januari 2011

VAKSINASI HPV


Pemberian Vaksin HPV merupakan salah satu metode pencegahan guna merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi yang dapat mencegah Human Papilloma Virus menginfeksi sel penyebab kanker leher rahim / Kanker Serviks dan beberapa jenis kanker lainnya.Untuk mengetahui sel telah terinfeksi Human Papilloma Virus ada 2 (dua) metode yang digunakan, yaitu PAP SMEAR dan BIOPSI. Segeralah di berikan Vaksin jika hasilnya belum terinfeksi.

1.     Vaksin HPV (Gardasil dan Cervarix)

Vaksin Gardasil dan Cervarix yang terbukti efektif hanya jika diberikan sebelum infeksi HPV, sehingga dianjurkan bahwa mereka akan diberikan sebelum seseorang aktif secara seksual. Keputusan FDA termasuk informasi tentang usia dan jenis kelamin untuk penerima vaksin. 

FDA menyatakan Gardasil diberikan pada wanita dan laki-laki usia 9 sampai 26. dan Cervarix untuk digunakan dalam usia wanita 9-25.

A. Vaksin Gardasil
Vaksin Gardasil yaitu vaksin yang diproduksi oleh Merck & Co. , Inc. Vaksin ini juga disebut Quadrivalent Yang berfungsi untuk melindungi terhadap empat jenis tipe HPV yaitu 6, 11, 16,dan 18.  Gardasil diberikan melalui serangkaian tiga suntikan ke dalam jaringan otot selama 6 bulan.

FDA telah menyetujui Gardasil untuk digunakan pada perempuan untuk pencegahan kanker seviks, vulva dan kanker vagina yang disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18.
Selain pada wanita Vaksin ini juga di anjurkan untuk digunakan pada laki-laki untuk pencegahan kanker dubur dan lesi prakanker dubur yang  disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18. Selain itu Gardasil juga terbukti untuk pencegahan kutil kelamin yang disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11.  Vaksin ini lebih efektif di berikan usia 9 sampai 26 tahun.

B. Vaksin Cervarix
Vaksin Cervarix adalah vaksin yang diproduksi oleh GlaxoSmithKline (GSK). Sering juga disebut bivalen vaksin karena target vaksin hanya dua jenis HPV yaitu tipe 16 dan 18. Vaksin ini juga diberikan dalam tiga dosis selama 6 bulan. Cervarix diberikan digunakan pada usia perempuan 9 - 25 tahun hanya untuk pencegahan Kanker Serviks disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18.

Kedua vaksin ini Gardasil dan Cervarix dikembangkan oleh ilmuan NCI. NCI lisensi teknologi untuk dua perusahaan-Merck farmasi dan GSK untuk mendistribusikan vaksin HPV secara luas


2.     Cara kerja vaksin HPV

Vaksin HPV bekerja seperti imunisasi lain. Komponen permukaan yang unik dari HPV dapat membuat respon antibodi yang mampu melindungi tubuh terhadap infeksi, dan komponen ini dapat digunakan untuk membentuk dasar vaksin.

Komponen permukaan HPV dapat berinteraksi satu sama lain untuk membentuk Virus-Like Partikel (VLP) yang tidak menular, karena mereka tidak memiliki DNA. Namun, VLP ini dapat menempel pada sel-sel dan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi yang dapat mencegah Papillomavirus menginfeksi sel dimasa mendatang.

Meskipun vaksin HPV dapat membantu mencegah infeksi HPV masa depan, mereka tidak bisa membantu menghilangkan infeksi HPV yang ada. Artinya mereka hanya berfungsi untuk mecegah terjadinya Kanker Serviks bukan untuk mengobati.


3.     Efektifitas vaksin sebagai imunitas

Gardasil dan Cervarix sangat efektif dalam mencegah infeksi dengan jenis HPV yang targetkan. Vaksin telah terbukti memberikan perlindungan terhadap penyebab Kanker Serviks secara terus-menerus untuk infeksi HPV tipe 16 -18 hingga 8 tahun, yang merupakan waktu maksimum penelitian sejauh ini. Karena vaksin HPV dikeluarkan pada bulan juni 2006.

Para ilmuan akan terus melanjutkan penelitian Untuk mengetahui total durasi waktu perlindungan yang diberikan oleh ke dua vaksin ini. Vaksinasi HPV juga telah diterbukti mencegah perubahan sel serviks prakanker yang disebabkan oleh HPV 16/18.  Hasil ini menunjukkan durasi perlindungan dari vaksin kemungkinan akan bertambah hingga 4-6 tahun kedepan pada wanita yang tidak terinfeksi HPV pada saat vaksinasi.


4.     Metode pemberian Vaksin HPV (proses vaksinasi)

Gardasil dan Cervarix dirancang untuk diberikan melalui penyuntikan kedalam jaringan otot kepada orang-orang dalam tiga dosis / tiga kali pemberian selama 6 bulan, yaitu bulan 0 (dosis pertama / pemberian awal), bulan 1 (sebulan dari pertama) dan yang terakhir bulan ke 6 dari pemberian pertama kali. Tetapi, sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa perempuan yang hanya menerima dua dosis Cervarix telah mendapat sama besar perlindungan dari infeksi HPV 16/18 dengan wanita yang menerima tiga dosis. Namun temuan ini perlu dievaluasi dengan penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah kurang dari tiga dosis vaksin akan memberikan durasi perlindungan yang cukup.

Meskipun demikian, informasi ini mungkin membantu para petugas kesehatan masyarakat yang mengelola program vaksinasi antara kelompok orang tidak mungkin untuk menyelesaikan regimen dosis tiga.
 
5.     Efek samping pemberian Vaksin HPV

Setiap vaksinasi yang akan diluncurkan, harus telah melalui beberapa tahapan uji klinis. Semua database mengenai vaksinasi, termasuk indikasi dan efek sampingnya, disimpan dengan rapi oleh sebuah badan pengawasan penyakit yang dikenal sebagai Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

Penelitian ini memperhatikan semua pola dari berbagai kejadian ikutan yang terlaporkan dalam VAERS sejak vaksin HPV pertama mendapat lisensi (Juni 2006) hingga 31 Desember 2008 dan merupakan studi paska-lisensi HPV yang pertamakali dipublikasi secara luas, dan menyangkut penelusuran klinis dari rekam medis pasien-pasien yang melaporkan VAERS.
Temuan ini secara umum tidak berbeda dengan laporan keamanan vaksin-vaksin lain yang direkomendasikan untuk kelompok usia yang sama (9 – 26 tahun), seperti meningitis dan Tdap. Berdasarkan penelusuran informasi FDA dan CDC, vaksin HPV masih terbukti aman dan efektif, dan manfaatnya jelas melebihi risikonya.
Temuan utama yang terdapat dalam studi tersebut termasuk:
Lebih dari 23 juta dosis telah diberikan di Amerika sejak vaksin HPV dilisensikan Juni 2006. Terdapat 12.424 laporan VAERS setelah vaksinasi HPV hingga Desember 2008.
Sejak vaksin HPV disetujui, mayoritas kejadian ikutan yang dilaporkan (sebanyak 94%) setelah vaksinasi HPV adalah kejadian ikutan yang tidak serius. 
Kejadian ikutan dianggap serius apabila:
  • Mengancam nyawa
  • Mengakibatkan kematian
  • Disabilitas permanen
  • Kelainan bawaan lahir
  • Perawatan di rumah sakit atau perpanjangan perawatan
Kejadian ikutan yang paling sering dilaporkan adalah:
  • Sinkop (pingsan) – umumnya dijumpai pada penyuntikan anak-anak remaja
  • Reaksi lokal pada lokasi suntikan (merah dan nyeri)
  • Rasa melayang
  • Mual
  • Sakit kepala
Dari 12.424 laporan kejadian ikutan, 772 (6%) merupakan kejadian ikutan yang serius, termasuk 32 laporan kematian
Dari 32 kasus kematian tersebut, dilakukan pemeriksaan dan terbukti tidak ada pola khusus mengenai penyebab kematian dan tidak ada pola yang mengarah pada vaksinasi sebagai penyebab. Pada kasus-kasus yang dilakukan otopsi dan penelusuran rekam medis dan surat kematian, penyebab kematian merupakan faktor-faktor diluar vaksinasi. Beberapa penyebab kematian mereka adalah diabetes, infeksi virus, penggunaan obat-obatan terlarang, dan gagal jantung.
Terdapat dua laporan penyakit saraf yang tidak wajar yang secara otopsi dinyatakan sebagai kemungkinan varian Amitrophic Lateral Sclerosis (ALS), seringkali dinyatakan sebagai penyakit Lou Gehrig. Saat ini belum terdapat bukti bahwa vaksin HPV menyebabkan penyakit tersebut, namun beberapa ahli sedang mempelajari kasus tersebut.
Beberapa laporan sinkop dan emboli paru (penyumbatan bekuan darah di paru-paru), dinyataan bahwa mereka yang mengalami emboli paru memang 90% memiliki faktor risiko pembekuan darah seperti penggunaan pil KB. VAERS tidak dapat membuktikan bahwa vaksin tersebut menyebabkan kejadian tersebut, namun temuan ini membutuhkan investigasi lebih lanjut.


6.     Efektifitas vaksin apabila di berikan pada wanita yang telah terinfeksi PHV

Meskipun Gardasil dan Cervarix aman bila diberikan kepada orang yang sudah terinfeksi HPV, tetapi vaksin tidak mempunyai kemampuan untuk mengobati infeksi. Vaksin diatas hanya berguna untuk pencegahan. Kedua Vaksin ini memberikan manfaat maksimal jika seseorang menyuntikkan vaksin HPV sebelum ia aktif secara seksual.


7.     Gambaran biaya untuk melakukan Vaksinasi HPV

Satu satunya kekurangan dari Vaksin ini adalah harganya yang mahal. Untuk melihat harga terbaru di Medicastore, klik link dibawah:
 
Pemberian vaksin dapat di lakukan di dokter-dokter anak, klinik atau rumah sakit pemerintah atau tempat praktek dokter di kota anda. Namun, biaya atau harga untuk vaksinasi mungkin ditentukan oleh klinik yang menyediakan layanan Vaksin HPV untuk mencegah Kanker Serviks.

Konsultasikan dengan dokter anda.
Baca juga:

SHARING, BLOGGING AND EARNING